Sumber foto: Freepik.com

Fanny Lesmana

Tatkala reformasi digaungkan pada 1998, beberapa nama tokoh di Indonesia turut mencuat seiring dengan pernyataan-pernyataan yang kerap dikutip oleh media massa. Tak jarang pernyataan-pernyataan tersebut menjadi lead, bahkan judul dari tulisan tersebut. Akibatnya, tak jarang pula pernyataan-pernyataan tersebut menjadi bersifat kontroversi, bahkan seolah terjadi perang pernyataan dari para tokoh-tokoh yang kemudian terangkat namanya menjadi tokoh nasional.

Beberapa di antaranya adalah pernyataan yang dibuat oleh mantan Presiden Soeharto menjelang lengser dari tampuk kepemimpinan negeri ini. Dikutip dari lama tirto.id, mantan penguasa bumi pertiwi selama 30 tahun lebih itu membuat pernyataan yang kemudian menjadi tulisan pada halaman utama Harian Republika edisi 2 Mei 1998. Melalui salah satu orang kepercayaannya, Jendral TNI R. Hartono, Soeharto mengeluarkan pernyataan bernada ancaman kepada para mahasiswa yang kala itu menuntut dilakukannya reformasi. Headline berita itu berisi pernyataan, “Jika Tidak Mau Mengerti, Dihadapi Dengan Tindakan.” Pernyataan itu lantas menjadi buah bibir di ranah publik.

Sebuah pernyataan – terlebih lagi yang dianggap dapat memancing kontroversi – juga merupakan sebuah bahan yang menarik untuk digoreng menjadi sebuah tulisan. Apalagi jika yang menyampaikan merupakan sosok figur yang dikenal oleh publik. Nilai berita keterkenalan (prominence) berlaku dalam situasi seperti ini. Ini berarti, sebuah pernyataan dari sumber yang dianggap terkenal atau memiliki kapabilitas tertentu dianggap layak untuk menjadi sebuah berita. Pernyataan dianggap sah menjadi bahan berita.

Meski demikian, perlu diwaspadai bahwasanya talk news sangat rawan menimbulkan keresahan lantaran opini publik berkembang dengan sangat cepat seiring dengan keberadaan media sosial. Sebuah pernyataan dapat beredar di ranah akar rumput yang bersenjatakan akun media sosial. Pernyataan itu bisa saja disampaikan dalam bentuk potongan pernyataan, atau dipelintir konteksnya karena toh masyarakat juga tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi saat pernyataan tersebut disampaikan.

Salah satu yang sangat ramai di kalangan publik adalah pernyataan dari salah seorang Komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Sitti Hikmawatty, yang menyatakan bahwa perempuan yang berenang di kolam renang publik bersama para lelaki perlu berhati-hati karena dapat menyebabkan kehamilan. Pernyataan yang disampaikan dalam sebuah wawancara dengan sebuah media (tribunjakarta.com) pada 21 Februari 2020. Tidak disebutkan apa hal ihwal media tersebut melakukan wawancara dengan Sitti Hikmawatty sehingga yang dikutip malahan sebuah pernyataan yang pada akhirnya berujung pada kecaman dari masyarakat.

Pernyataan lain terjadi sebelumnya dan menimpa mantan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, saat mengeluarkan usulan agar orang kaya menikahi orang miskin pada pembukaan Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2020 di Jakarta. Pada kesempatan yang lain, Muhadjir menyatakan bahwa apa yang disampaikannya merupakan selingan atau candaan belaka. Meski demikian, pernyataan tersebut terlanjur viral dan menjadi bahan perbincangan di kalangan warganet. Yang terakhir, adalah pernyataan yang dikeluarkan oleh Wakil Presiden RI, KH. Ma’ruf Amin terkait sertifikat bebas corona yang juga menuai kontroversi. Istana kepresidenan meluruskan pernyataan tersebut untuk menghentikan polemik.

Dalam sebuah penulisan berita, bukan hanya peristiwa yang menjadi bahan untuk diadon dan diolah menjadi sebuah tulisan. Pernyataan seorang tokoh memang merupakan salah satu bahan andalan dari para jurnalis dalam mengangkat sebuah berita. Dalam dunia jurnalistik, konsep ini acap disebut talk news (jurnalisme omongan). Namun melihat beberapa kasus yang diangkat di atas, kita dapat melihat bahwa jurnalisme pernyataan bukan saja dapat menjadi viral, melainkan dapat menjadi kontroversi, bahkan menjadi polemik yang berkepanjangan. Satu akibat lain yang lebih menyedihkan adalah apa yang disampaikan oleh media massa lantas ditelan bulat-bulat oleh khalayak.

Satu kondisi yang tidak dapat dipungkiri adalah lemahnya sebagian besar dari khalayak Indonesia dalam mengonsumsi berita. Khalayak di Indonesia seringkali beranggapan bahwa dengan membaca sebuah judul berita, sudah menjadikannya membaca sebuah berita. Di sisi lain, media massa juga suka mengumbar judul-judul berita yang bernada clickbait (judul yang menarik, namun tak jarang judul tersebut tak sesuai dengan isi berita di dalam tubuh berita). Itu sebabnya, perlu digagas dan terus disosialisasikan perihal literasi media sehingga khalayak kita mau membaca isi berita sebelum memviralkan sebuah berita. Literasi media tidak hanya diberikan pada usia sekolah, melainkan juga pada masyarakat secara umum, mengingat hampir semua orang telah memiliki telepon pintar dalam genggaman dan juga memiliki akun media sosial yang menjadi tempat diviralkannya sebuah pernyataan yang menjadi berita.

Kedua, dari sisi jurnalis (dan yang terpenting adalah media massa sebagai lembaga produsen). Kepentingan untuk memperoleh page view dalam jumlah besar acapkali membuat jurnalis (media massa) seperti tak acuh pada prinsip keberimbangan maupun kebenaran dari sebuah berita. Jurnalis dikejar dengan kecepatan untuk segera ‘menaikkan’ berita dengan dalih mendapat target dari perusahaan media. Kebenaran dan ketepatan informasi seolah menjadi tidak penting lagi. Padahal kedua hal itu adalah ruh dari jurnalisme. Karenanya, jurnalis (juga perusahaan media) diharapkan dengan sangat untuk melakukan wawancara mendalam terhadap narasumber yang membuat pernyataan. Dengan demikian, pernyataan yang disampaikan memiliki alasan yang kuat serta dapat dipertanggungjawabkan.

Jurnalis seharusnya masih memiliki hati nurani dalam menyampaikan materi pemberitaan sehingga tidak menimbulkan prasangka di antara khalayak media. Bagaimana pun, media massa merupakan salah satu sarana pendidikan bagi masyarakat. Ini berarti, media massa tidak sekadar menyajikan berita dan lantas ‘melarikan diri’ saat pemberitaan yang berdasar pada pernyataan tersebut menjadi topik perbincangan.

Ketiga dari sisi narasumber sendiri sepatutnya menyediakan waktu lebih bagi media massa yang hendak melakukan konfirmasi melalui proses wawancara. Narasumber yang merupakan tokoh publik hendaknya juga perlu memberikan waktu supaya bisa menjelaskan pernyataan yang dibuat sehingga tidak ditangkap sebagai hal yang kontroversial oleh jurnalis. Ujungnya, hal tersebut menjadi viral di kalangan warga net, bahkan masyarakat umum.

Jurnalisme pernyataan merupakan hal yang menarik untuk diangkat dan dikulik dalam sebuah pemberitaan.  Namun, jurnalis maupun media massa perlu bijak dalam mengangkat sebuah pernyataan. Dengan demikian, pemberitaan akan tetap memiliki kualitas yang dapat dipercaya sebagai media pembawa informasi tak basi tanpa sensasi. ***

Continue Reading