Penulis : Remy Sylado
Penerbit : Kompas Gramedia, 2010
Tebal Buku : 559 halaman
“Namaku Mata Hari.”
Dia menunjukkan wajah riang, terkesima dan beramah-ramah dengan dialog encer, menyebabkan hatiku terhibur.
“Itu nama baptismu yang baru?” tanyanya.
“Apa itu tidak bagus?” jawabku.
“Rasanya panas.”
Aku ketawa.

Terlahir dengan nama Margaretha Geertruida, dari ayah berdarah Belanda dan ibu berdarah Indonesia.
Setelah menikah, ia dipanggil Mrs. MacLeod. Suaminya seorang perwira Belanda berdarah Skotlandia. Itu terlihat dari nama marga yang disematkan.
Melalui pelbagai persoalan yang mendewasakan dirinya di Indonesia – tempat suaminya bertugas sebagai anggota militer – ia memilih nama Mata Hari. Mata Hari yang kemudian dikenal sebagai penari sebagai pelacur, juga sebagai mata-mata.
Novel ini tidak hanya menyajikan konflik, tapi juga intrik.
Remy Sylado selalu asik dengan persoalan yang bisa membelit perempuan. Seniman kelahiran Minahasa ini bisa saja memainkan sisi-sisi kelemahan dan juga kekuatan dari seorang perempuan. Ini bukan satu-satunya karya Remy – yang lahir dengan nama Johny Tambayong – yang mengangkat perempuan sebagai tokoh utamanya.

Novel yang mengangkat kisah tentang Mata Hari tidak saja ditulis oleh Remy Sylado, melainkan juga ditulis oleh penulis lain, yakni Paulo Coelho. Penulis novel terkenal “Alchemist” ini memiliki perbedaan cara pandang terhadap Mata Hari. Dengan demikian, cukup menarik jika kita membaca kisah Mata Hari dari berbagai perspektif.
Membaca karya Remy Sylado mengajak kita berandai-andai dalam sejarah.
Deskripsi setting serta alur yang tertata membuat pembaca menjadi jelas dalam mengikuti kisah yang dibangunnya. Selain itu, perempuan yang selalu menjadi tokoh sentral dari tulisan Remy Sylado nyaris mendapat stereotype perempuan kebanyakan. Tapi bagaimana akhirnya?
Mungkin itu yang perlu kita simak lebih jauh…. Selamat membaca. ***/fannylesmana
