Sumber Foto: Freepik.com

Desi Yoanita, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UK Petra Surabaya

Takut dan khawatir, kata-kata yang banyak memenuhi benak kita akhir-akhir ini. Takut akan kondisi masa kini, karena dampak penyebaran Covid-19 memang sangat dahsyat. Saya sendiri seumur hidup belum pernah mengalami kondisi seperti sekarang. Sudah lebih dari sebulan tidak melakukan aktivitas di luar rumah. Kalaupun keluar harus siap dengan ‘senjata’ lengkap, alias masker dan hand sanitizer. Belum lagi mesti ekstra hati-hati tidak menyentuh banyak benda sembarangan. Sampai di rumah langsung harus mandi.

Di luar sana, banyak kantor dan toko tutup. Resto dan pusat perbelanjaan buka dalam waktu dan layanan yang terbatas. Sekolah dan universitas juga merumahkan staf dan siswanya. Semua berusaha melakukan physical distancing, agar penyebaran virus ini bisa dihentikan.

Berbagai berita di media massa tentang virus ini harus diakui menambah ketakutan banyak orang. Vaksinnya belum ditemukan, obatnya juga belum pasti. Ada yang bisa sembuh sendiri, ada yang berakhir dengan kematian. Kalau sampai terkena, harus isolasi diri, matipun dalam kesendirian. Info-info seperti itu yang banyak beredar.

Tak berhenti sampai di situ, setelah ketakutan, muncullah kekhawatiran akan masa depan. Sampai kapan kondisi ini berlangsung? Setelah selesai, bagaimana kondisi ekonomi? Bagaimana yang sudah di-PHK? Apakah akan benar-benar selesai, sedang vaksinnya belum ditemukan? Bisakah semua menjadi normal seperti sebelum Covid-19?

Pertanyaan-pertanyaan itu takkan pernah habis, karena memang segala sesuatu serba tak pasti. Saking banyaknya ketakutan dan kekhawatiran, banyak yang merasa stres bahkan depresi. Lantas bagaimana kalau memang kondisi tak bisa kembali seperti dulu lagi? Apakah lantas kita terpuruk dan tak bisa melanjutkan hidup?

Akhir-akhir ini mulai muncul ajakan di media sosial agar masyarakat bersiap untuk adaptasi dengan “the new normalcondition. Dengan kata lain, tidak bisa menjalani masa depan dengan harapan semua akan kembali seperti yang terjadi di masa lalu. Karena bagaimana pun, life must go on.

Bagi saya pribadi, ada beberapa hal yang mesti kita pikirkan dan lakukan selama dan pasca pandemi.

Menerima keadaan dan tetap bersyukur

Ini adalah bagian yang terdengar paling cliché, tapi paling sulit kan? Setiap menghadapi kesulitan, mayoritas manusia akan auto-mengeluh dan bertanya mengapa ini terjadi. Kita lupa bahwa meskipun dicipta sebagai makhluk paling mulia, manusia tetap punya banyak keterbatasan. Termasuk terbatas dalam mengontrol segala yang terjadi di dunia ini. Hanya satu pihak yang bisa mengontrol segala hal. Dialah Sang Penulis buku kehidupan.

Saya pribadi percaya, tidak ada yang kebetulan di dalam dunia ini. Segalanya sudah digariskan oleh Sang Pencipta. Sama seperti sebuah naskah drama, ada kisah duka, menegangkan, suka, dramatis, dan ending.

Kita sedang menjalani peran masing-masing dalam drama kehidupan ini. Pandemi ini adalah salah satu peristiwa yang memang harus dijalani bersama. Ending-nya bagaimana? Semua ada di tangan-Nya. Kita tak bisa mengontrol segalanya, tapi Dia bisa. Dalam masa pandemi ini pun, He’s in control. Jangan biarkan ketakutan dan kekhawatiran mengaburkan pandangan kita dari Sang Pencipta. Saat ingin mengeluh, segera pusatkan pikiran kita pada berkat yang sudah kita terima selama ini. Count your blessings and give thanks!

Melangkah dengan optimis

Presiden kita memang bukan sosok yang sempurna. Tapi saya paling kagum dengan kalimat-kalimatnya, terutama di masa pandemi ini. Dia selalu mendorong masyarakat untuk berpikir optimis. Banyak kalangan yang menilai, nasihat untuk optimis itu seolah tidak peka dengan berbagai kesulitan yang dialami warga saat ini. “Gampang saja berkata optimis kalau tidak ada keluarga yang kena Covid-19, tidak mengalami PHK, tidak bisa bayar tagihan, tidak harus sekolah daring, tidak pusing work from home”.

Well, ajakan optimis bukan berarti tidak berempati. Justru kita ini bisa melangkah maju karena optimisme. Kita tidak mungkin menyerah jalan di tempat atau bahkan melangkah mundur. Kita tetap harus berorientasi pada masa depan. Setelah pandemi ini, banyak hal yang harus dikerjakan. Lantas, apa yang bisa membuat kita berpikir optimis? Hope, itulah jawabnya. Harapan akan masa depan yang lebih baik.

Mencari peluang dan pererat kolaborasi

Kita tak sendirian menghadapi dampak Covid-19, jadi alih-alih meratapi nasib, ayo mencari peluang yang tetap bisa dikerjakan. Tak usah pasang target muluk-muluk, yang penting tetap produktif dan kalau bisa memberi dampak positif bagi sekitar. Siapa tahu ada banyak mimpi yang tertunda bisa dikerjakan sekarang. Yang dulunya jarang masak, bisa mulai mencoba dan berbagi resep masakan. Yang dulunya ingin menulis tapi tak sempat, bisa mulai mengambil laptop dan mengetik.

Selain mencari peluang, tak ada salahnya mencari teman, yang bisa diajak kolaborasi. Siapa tahu, dengan kolaborasi dampak positif yang ditimbulkan bisa lebih besar.

Pandemi ini bukan bencana pertama di dunia. Dan seperti segala kesulitan yang pernah terjadi sebelumnya, wabah ini pun akan berakhir. Sementara hidup kita, akan terus berlanjut. Menjadi seperti apa kita setelah pandemi ditentukan oleh pilihan kita sekarang. Mau melangkah penuh harapan, atau terpuruk dalam ketakutan. Mengutip J.R.R. Tolkien,

Even darkness must pass, a new day will come, and when the sun shines, it will shine out the clearer.”

Continue Reading